Decoding the Disciplines

Menerapkan Decoding the Disciplines

Kebanyakan dosen sudah tahu bagian-bagian mata kuliah mereka yang sulit dimengerti mahasiswa. Decoding the Disciplines adalah sebuah teori pendidikan yang berupaya mengidentifikasi bagian-bagian yang sulit (bottleneck) dalam materi kuliah, dan menguraikan cara berbagi pengalaman yang bersifat tacit knowledge. Cara belajar melalui pengalaman sebagaimana yang dilalui para ahli diharapkan dapat menimbulkan motivasi dan pemahaman di kalangan mahasiswa.

 

Langkah 1: Mengidentifikasi bottleneck (hambatan)

Apa yang dimaksud dengan bottleneck (hambatan) dan mengapa kita harus peduli dengan hal tersebut? Hambatan merujuk pada posisi dalam pembelajaran di mana mahasiswa mengalami kesulitan. Dosen sering menyadari bahwa pembelajaran tidak selalu berjalan dengan lancar dan mahasiswa tidak selalu berproses dengan kecepatan yang sama. Dosen mendapati situasi di mana sejumlah besar mahasiswa terhambat dalam proses belajar.

Dulu, banyak dosen menganggap hambatan muncul karena materi sulit dipahami secara konsep. Namun, setelah mencermati banyak bottleneck di berbagai disiplin ilmu, ternyata ada pola-pola dalam hambatan tersebut. Hambatan adalah sinyal bahwa mahasiswa perlu diperlihatkan praktek/aktivitas mental yang telah dijalani oleh para pakar dalam konteks tersebut.

Dengan memusatkan energi pengajaran pada satu atau dua hambatan, dan benar-benar menyediakan waktu lebih untuk mengajarkannya, kita dapat membantu mahasiswa dalam mempelajari tindakan/aktivitas mental yang penting. Kita jangan hanya fokus pada materi belajar. Mahasiswa telah mempu melewati beberapa topik belajar dan mendapat hambatan pada titik-titik tertentu. Selanjutnya, tugas dosen adalah membantu mahasiswa melewati hambatan-hambatan tersebut.

Contoh uraian Bottleneck (Hambatan): Mahasiswa merasa sulit untuk…

  • Menganalisis sumber primer (sejarah) atau data (geologi, biologi, ilmu sosial)
  • Memvisualisasikan proses molekuler (kimia, biologi) atau proses politik (ilmu politik, ilmu sosial)
  • Membaca dan menafsirkan grafik (fisika, ekonomi, statistik, biologi,…)
Langkah 2: Menguraikan cara berpikiri pakar

Para pakar sering melakukan proses “berpikir kritis” secara implisit dan sulit menjelaskan proses tersebut dalam kata-kata. Pakar secara alamiah sudah terlatih dalam merapkan tindakan mental dalam bidang masing-masing. Langkah 2 bertujuan untuk mengungkap proses mental yang dijalani oleh para pakar dalam bidang pekerjaan mereka. Langkah 2 ini bukan bertujuan membeberkan konten belajar. Berbagai alternatif strategi telah dikembangkan untuk mengungkapkan cara penalaran implisit menjadi eksplisit. Alternatif tersebut antara lain wawancara 2-lawan-1 (2-on-1 interview), wawancara melingkar (fishbowl interview), panduan menulis bottleneck secara mandiri, rubrik, dan analogi.

Langkah 3: Pemodelan Langkah Kuliah

Setelah mengidentifikasi hambatan pada Langkah 1 dan mendapatkan cara berpikir kritis para ahli pada Langkah 2, pada Langkah 3 kita memodelkan tindakan mental untuk mahasiswa. Pemodelan dapat dilakukan di dalam atau di luar kelas dalam bentuk ceramah. Cara berceramah berguna untuk menyampaikan informasi, tetapi termasuk dalam pemikiran tingkat rendah menurut taksonomi Bloom – mahasiswa hanya mengingat fakta.

Waktu kuliah akan lebih efektif jika digunakan untuk memodelkan jenis pemikiran yang diinginkan oleh dosen bagaimana siswa terlibat di dalam aktivitas kuliah. Alih-alih memberi contoh atau menunjukkan cara menjawab soal, kuliah sebaiknya memberikan analogi untuk penalaran yang digunakan dalam contoh tersebut dan memberikan komentar tentang cara berpikir tentang konten kuliah, bukan hanya tentang contohnya.

Analogi (dan metafora) berguna dalam perkuliahan untuk memodelkan pemikiran dalam bidang ilmu, terutama ketika mahasiswa kesulitan dengan suatu konsep. Analogi sangat berguna karena dapat menghubungkan konsep-konsep yang tidak dikenal dengan pengetahuan yang sudah ada dengan cara yang dapat dimengerti dan diingat oleh para mahasiswa. Analogi terbaik dipilih dari luar disiplin ilmu, dan didasarkan pada sesuatu yang sudah dikenal oleh para mahasiswa; semakin jelas dan konkret, semakin baik. Setelah memberikan analogi, dosen memberikan contoh di dalam disiplin ilmu, yang menunjukkan di mana perhatian mereka terfokus. Analogi tersebut menunjukkan kepada para mahasiswa “otot” mana yang harus digunakan, sementara komentar menjelaskan mengapa dan bagaimana alasan dosen.

Dengan pelatihan, dosen yang belum berpengalaman mampu mengajar sebaik atau lebih baik daripada profesor yang sudah lama mengajar yang mengandalkan kuliah berbasis konten. Beberapa penelitian telah menunjukkan peningkatan hingga dua kali lipat dalam pembelajaran ketika cakupan konten dipindahkan ke luar kelas, dengan waktu di dalam kelas yang digunakan untuk latihan siswa yang disengaja untuk berpikir secara ilmiah, seperti membuat dan menguji prediksi dan argumen, memecahkan masalah, dan mengkritik penalaran diri mereka sendiri dan orang lain (Deslauriers, Schelew, Weiman, 2011).

Langkah 4: Praktek

Setelah menerjemahkan proses mental sang pakar pada Langkah 2 dan memodelkannya untuk mahasiswa pada Langkah 3, mahasiswa membutuhkan latihan untuk mencoba cara baru dan memperkuat kemampuan bernalar. Ada banyak metode pengajaran, lalu metode mana yang paling baik untuk membantu mahasiswa berlatih? Dengan menganalisis jenis penalaran yang diperlukan, kita dapat mencocokkan jenis penalaran tersebut dengan metode pengajaran yang terkait. Tabel di bawah ini menunjukkan jenis-jenis penalaran (diadaptasi dari taksonomi Bloom) dan beberapa metode pengajaran yang mendukung jenis penalaran tersebut.

Jenis penalaran Metode mengajar
Mengingat (Reproduksi fakta) Flash card, mnemonic, quizz
Memahami (Parafrase) Menata grafik/gambar, diskusi
Menerapkan (Menyelesaikan) Masalah yang bisa diselesaikan, Memainkan peran (role play)
Evaluasi (Menilai proses) Evaluasi peer, memberi rating pada produk
Analisis (Membedah) Membuat interpretasi data
Membuat (Memproduksi) Membuat game, membuat proposal, mengembangkan proses, membuat eksperimen
Langkah 5: Motivasi

Bagaimana dosen dapat memastikan bahwa mahasiswa datang ke kelas dengan tugas-tugas kuliah yang telah disiapkan dan telah membaca materi yang dianjurkan? Siswa sering mengabaikan tugas tradisional, seperti “membaca teks” atau “menulis pertanyaan berdasarkan bacaan” karena tugas seperti itu tidak membangung kemampuan analitik atau meminta pertanggungjawaban siswa. Pengalaman telah mengajarkan kepada mahasiswa bahwa mereka akan “baik-baik saja” dalam mata kuliah ketika tidak menyelesaikan tugas-tugas tersebut. Beberapa mahasiswa akan berusaha keras untuk mengerjakan tugas yang hanya akan dilihat oleh dosen; “rasa malu” karena tidak mengerjakan tugas tidak cukup berpengaruh. Penelitian menunjukkan semakin banyak tugas yang bersifat otentik, publik, dan fasilitatif untuk interaksi teman sebaya, semakin besar kemungkinan mahasiswa akan menyelesaikan tugas (Shopkow, Diaz, Pace, dan Middendorf).

Dua metode (beserta berbagai variasinya) yang mendorong tanggung jawab mahasiswa secara publik adalah: Pembelajaran Berbasis Tim (team based learning TBL) dan Pengajaran Tepat Waktu (just in time teaching JiTT).

Pembelajaran Berbasis Tim
Pembelajaran Berbasis Tim (team based learning TBL) mendorong mahasiswa mempelajari bahan ajar di luar kelas sebagai persiapan untuk menghadapi kuis di dalam kelas yang akan dikerjakan oleh mahasiswa secara individu. Setelah kuis individu, mahasiswa mengulangi mengerjakan kuis tersebut sebagai kerja kelompok (Michaelsen, Knight dan Fink, 2004). Tanggung jawab dalam mengerjakan kuis secara bersama dapat memberikan dorongan positif agar setiap mahasiswa berkontribusi. Setelah materi kuliah dibahas, sebagian besar waktu di dalam kelas dapat difokuskan untuk latihan penerapan konsep, seperti membuat prediksi, menguji argumen, memecahkan masalah, atau mengkritik argumen. Sebagai proses refleksi terkait kerja tim, setiap anggota kelompok saling mengevaluasi kinerja teman satu kelompok beberapa kali dalam satu semester. Sebagai alternatif, metode TBL dapat dikombinasikan dengan metode Pengajaran Tepat Waktu sebagai metode untuk mengarahkan persiapan mahasiswa.

Pengajaran Sesuai Waktu
Keberhasilan Pengajaran Sesuai Waktu (just in time teaching JiTT) bergantung pada kemampuan dosen untuk memeriksa tugas mahasiswa dalam waktu singkat (biasanya hanya beberapa jam) sebelum kelas dimulai (Novak, 2011). Tugas diberikan beberapa jam sebelum kuliah sebagai pemanasan. Tugas dapat berupa latihan singkat berbasis web yang membantu dosen untuk mengidentifikasi potensi kesulitan mahasiswa sehingga dosen dapat membantu mengatasi masalah tersebut pada saat kuliah. Beberapa tools dapat digunakan sebagai kegiatan pemanasan, seperti Quizizz atau Google Form. Untuk mempersingkat waktu dalam menilai, dosen dapat memberikan penilaian biner yaitu apakah jawaban dapat diterima atau tidak.

JiTT juga dapat dilakukan di dalam kelas. Dosen dapat menampilkan dan membahas jawaban mahasiswa yang mewakili pemahaman suatu poin, serta memberikan umpan balik untuk memperkuat pemahaman tersebut. Mahasiswa dapat mencetak umpan balik mereka dan membawanya ke kelas untuk diskusi dan pengembangan dalam kelompok. Tim juga dapat membandingkan jawaban, menciptakan atmosfer kompetitif antar kelompok. Tools seperti Menti Meter mungkin membantu. Dengan menggunakan JiTT, dosen dapat fokus pada penguatan pemahaman konsep yang sulit atau menantang bagi mahasiswa di dalam kelas. Latihan di dalam kelas lebih efisien bagi mahasiswa, dan mereka melihat manfaatnya karena mereka belajar bagaimana mengembangkan keterampilan atau memahami proses yang penting.

Langkah 6: Asesmen di dalam kelas

Tujuan dari penilaian di tingkat kelas adalah untuk memeriksa pemahaman mahasiswa-apa yang mereka dapatkan dan apa yang tidak mereka dapatkan? Setelah mencontohkan aksi mental tertentu yang harus dipelajari mahasiswa dan memberikan mereka latihan, pada Langkah 6, kita perlu mengecek apakah mahasiswa telah menguasainya. Ketika merencanakan asesmen, ingatlah hal-hal berikut ini

  1. Hanya fokus pada satu atau dua operasi dalam satu waktu. (Nantinya, setelah siswa menguasai sekumpulan operasi, akan tiba saatnya untuk meminta mahasiswa mensintesis satu keterampilan).
  2. Pikirkan struktur untuk asesmen kecil dan fokus untuk mengungkap upaya siswa dalam aksi mental tertentu. Teknik asesmen kelas (CATS, Angelo & Cross, 1993) dapat dijadikan rujukan. Sebagai contoh, sebelum mahasiswa Hukum dapat menganalisis sebuah kasus, mereka harus dapat mengidentifikasi semua fakta penting, konsep prosedural, dan aturan hukum yang berlaku. Dengan CAT #8, Kisi-kisi Kategorisasi, dosen (dan mahasiswa) dapat melihat apakah ada yang hilang dari kisi-kisi: fakta penting, konsep prosedural, dan aturan hukum.
  3. Pre-test dan Post-test digunakan sebagai asesmen sebelum dan sesudah kuliah, di awal dan di akhir modul/topik, atau setelah latihan yang berulang. Pre-test dan Post-test memungkinkan dosen melihat perubahan dalam kemampuan (dan melihat di titik mana mahasiswa masih membutuhkan penjelasan atau latihan lebih lanjut).
  4. Sesekali ajukan pertanyaan reflektif untuk membuat mahasiswa menjadi lebih strategis dalam belajar. Setelah pertanyaan terkait bahan ajar, tanyakan kepada mereka, mengapa menjawab itu? Atau minta mereka untuk memberikan alasan dan bukti untuk sebuah pernyataan. Ketika memberikan soal, mintalah mereka untuk menjelaskan alasan mereka mengambil sebuah langkah dan mengerjakan jawabannya. Pada contoh soal Hukum di atas, mahasiswa dapat ditanya, “Apa yang paling sulit bagi Anda dalam menyelesaikan kisi-kisi ini? Apa yang membuat Anda mengatakan itu?”

Semakin sering asesmen di kelas dilakukan, dapat menciptakan umpan balik yang memberikan wawasan berpikir bagi mahasiswa. Asesmen yang sering memberi kejelasan kepada dosen dan mahasiswa di bagian mana mahasiswa mengalami kesulitan belajar.

Langkah 7: Berbagi

Setelah kita mengidentifikasi hambatan di mana mahasiswa mengalami kebuntuan, mengungkap cara para ahli melewati permasalahan serupa, dosen dapat membantu siswa mengatasi hambatan tersebut melalui proses pemodelan, latihan, dan motivasi. Pada Langkah 7, silakan mempertimbangkan untuk berbagi tentang keberhasilan mengatasi masalah (bottleneck) mahasiswa.

Diskusi bulanan merupakan salah satu arena untuk berbagi. Dosen dapat berbagi dengan cara lain, mulai dari menceritakan hasil penilaian dengan kolega di kantor sebelah, menyampaikan dalam rapat prodi, hingga menulis buku ajar.

Beberapa dosen dapat menjadikan langkah-langkah Decoding the Disciplines sebagai bagian dari proposal hibah pembelajaran atau penelitian tentang pembelajaran. Hasilnya dipublikasikan mulai dari masalah yang ditemukan, analogi yang dapat digunakan, semuanya didukung bukti. Meluangkan waktu untuk menulis sebuah bab buku atau melakukan presentasi pada sebuah konferens merupakan aktivitas baik, yang dalam prosesnya dosen sering kali mendapatkan wawasan baru.

 

Referensi

Angelo, T.,  & Cross, P.  (1993). Classroom Assessment Techniques. San Francisco: Jossey-Bass.

Deslauriers, L., Schelew, E., Weiman, C. (2011). Improved learning in a large-enrollment physics class. Science (New York, N.Y.), 332 (6031), 862-4 PMID: 21566198.

Lahm, S. & Kaduk, S. (2016). Essay on Decoding the Disciplines as a starting point for research-based teaching and learning. (Mieg , H.A.; Lehmann, J., eds.) Learning through ResearchA Practical Handbook. FHP -Verlag.

Michaelsen, Larry; Knight, Arletta Bauman; and Fink, L. Dee (2004). Team-Based Learning: A Transformative Use of Small Groups in College Teaching. Miami: Stylus. 

Middendorf, J., & Shopkow, L. (accepted). Overcoming Student Learning Bottlenecks: Decode Your Disciplinary Critical Thinking. Stylus: Sterling, VA.

Miller-Young, J., & Boman, J. (2017). Uncovering ways of thinking, practicing and being through decoding across disciplines. New Directions for Teaching and Learning, 148.

Novak, G. (2011). Just-in-Time Teaching. New Directions for Teaching and Learning, (128) p. 63-73, Wiley Online Library DOI: 10.1002/tl.469.

Pace, D. (2017). The Decoding Paradigm. Indiana University Press.

Pace, D., & Middendorf, J., Eds. (2004). Decoding the disciplines: Helping students learn disciplinary ways of thinking. New Directions for Teaching and Learning, 98. San Francisco: Jossey-Bass.

Shopkow, L., Diaz, A., Middendorf, J., & Pace, D. (2013). From bottlenecks to epistemology: Changing the conversation about the teaching of history in colleges and Universities. In R. Thompson (ed.), Changing the Conversation of Higher Education. New York: Rowman & Littlefield.

 

(Disadur bebas oleh tim BIP dari halaman ini)